KOMPAS.com - Dompet Dhuafa memperingati Hari Pendidikan Nasional ( Hardiknas) dengan menghadirkan forum diskusi kritis Hardiknas Education Forum 2024.
Ketua Dewan Pengurus Yayasan Dompet Dhuafa Republika Ahmad Juwaini mengatakan, forum peringatan Hardiknas tersebut bukan sekedar diskusi, tetapi juga sebagai aksi.
“Forum ini bertujuan menghadirkan refleksi kritis terhadap kebijakan Merdeka Belajar sebagai upaya transformasi pendidikan nasional dan mengumpulkan gagasan-gagasan baru untuk pengembangan pendidikan,” ujarnya.
Dia mengatakan itu saat membuka forum bertema “Merdeka Belajar dan Jalan Terjal Transformasi Pendidikan Kita” tersebut di Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen (STIM) Budi Bakti Bogor, Kamis (2/5/2024).
Forum tersebut digelar GREAT Edunesia, yakni organisasi filantropi pendidikan mitra pengelola program Dompet Dhuafa.
Baca juga: Dukung Pemasyarakatan Warga Binaan Lapas, Dompet Dhuafa Terima Penghargaan dari Kemenkumham
Juwaini mengatakan, gelaran tersebut juga menjadi refleksi terhadap kebijakan yang ada dan pengumpulan gagasan baru dalam transformasi pendidikan untuk menjawab tantangan pada era Indonesia Emas.
“Dalam perjalanan terjalnya, kami coba mengisi kesenjangan-kesenjangan itu dengan program pendidikan,” jelasnya dalam siaran persnya, Jumat (3/5/2024).
Dalam sesi diskusi, Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri menyampaikan, informasi tentang program Merdeka Belajar masih sangat minim.
Hal tersebut juga menjadi soal utama bersama tentang disinformasi. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) merilis kebutuhan guru sedunia adalah 44 juta.
“Namun, pendidikan kita tidak tersistemasi. Merdeka Belajar hanya sebuah janji dan konsep antiilmu,” tegasnya.
Baca juga: Lewat Spiritual Entrepreneurship Camp, Dompet Dhuafa Ajak Peserta Dalami Wirausaha dan Spiritualitas
Selain persoalan krisis pembelajaran, terdapat juga kritik terhadap proses akademik yang umum terjadi di banyak sekolah dan perguruan tinggi, yakni kian tercerabutnya konten materi ajar dari kearifan lokal masyarakat di sekitarnya.
Kemudian, pelajar semakin sulit menemukan korelasi fungsional antara muatan ajar dengan kebutuhan di kehidupan nyata.
Hilangnya kearifan lokal merupakan ancaman bagi munculnya kemiskinan yang lebih besar sehingga upaya-upaya pengentasan kemiskinan harus dibarengi dengan dukungan pendidikan berkualitas.
Hal tersebut pun tidak cukup hanya dengan mengandalkan ranah persekolahan dan perkuliahan.
Pendidikan jangan selalu diidentikkan dengan persekolahan atau perguruan tinggi.
Sebab, identifikasi tersebut akan terlalu sempit jika kesempatan belajar hanya ditempuh lewat penjenjangan pendidikan formal.
Baca juga: Suarakan Kemerdekaan Palestina, Dompet Dhuafa Sulsel Bersama MAN Gelar Sound of Humanity
Pendidikan bisa mendorong setiap individu memiliki kemampuan untuk bertahan, beradaptasi, dan bangkit dari situasi sulit.
Generasi Indonesia juga harus mendapatkan pengajaran dan pengalaman sedini mungkin agar mereka menjadi tangguh di masa depan.
Dengan demikian, perlu segera dimunculkan kesadaran untuk membangun integrasi yang kokoh antara pendidikan formal, keluarga, dan masyarakat sebagai suatu ekosistem pendidikan yang menguatkan kesalehan diri, identitas kebangsaan, kemampuan resiliensi, dan kepekaan sosial.
Pada sesi yang sama, tokoh pendidikan Zain Uchrowi menyampaikan, pendidikan semestinya humanistik, yakni pascamodern/rasa dan logika jika seimbang menggunakan otak kanan (rasa/tradisional) dan kiri (logika/modern).
“ Merdeka belajar pendidikan itu diawali dengan ingin jadi manusia seperti apa yang diinginkan, lalu deliver dengan tabiat akhlak,” ujarnya.
Baca juga: Gandeng Dompet Dhuafa, Siswa MHIS Kumpulkan Rp 282 Juta untuk Bangun Sekolah
Dia menilai, generasi muda sekarang yang pada 2045 nanti akan menjadi aktor penting dan penentu dalam kemajuan Indonesia perlu mendapatkan pendidikan dan pengembangan diri yang memadai agar siap masuk ke dalam dunia kerja, bahkan bisa membuka lapangan pekerjaan baru.
Namun, kata Zain, selain masih terdapat persoalan akses, kualitas belajar di sekolah dan perguruan tinggi dinilai belum cukup baik.
Akibatnya, bekal keterampilan yang dibutuhkan belum bisa sepenuhnya mencukupi dan banyak tidak sejalan dengan kebutuhan dunia kerja masa depan.
“Kecakapan minimum untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat yang siap mengatasi dinamika perubahan dunia masih jauh panggang dari apinya,” ujarnya.
Pembicara lainnya, guru besar sekaligus penulis buku Adiam Husaini menyampaikan, minat seseorang menjadi guru saat ini bukan pilihan teratas. Sebab, kebanggaan ada jika menyebut memilih profesi yang lain.
Baca juga: Dompet Dhuafa Panen Raya Melon Greenhouse PTGL bersama Donatur, Bukti Wakaf Alirkan Banyak Manfaat
“Jadi guru itu mulia. Apa itu pendidikan? Pengajaran, dalam istilah sejarah Indonesia-Belanda, adalah proses penanaman nilai,” ujarnya.
Adiam menyebutkan, pendidikan seharusnya menumbuhkan nilai-nilai, akhlak, kejujuran, dan kebahagiaan, bukan mengejar hal materialistis individu dan benda.
“Tugas nabi itu tiga, yaitu tilawah, tadkiyah, dan ta’lim. Rangkumannya jadi ta’dim. Maka, misi nabi membentuk akhlakul kharimah,” katanya.
Dia mengatakan, negara atau pendidikan maju bukan tentang uang. Masalah Indonesia juga bukan kaya atau miskin, tetapi akhlak.
“Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, baru bangun jalan tol, gedung, dan seterusnya,” ujarnya.
Direktur Eksekutif GREAT Edunesia Mulyadi Saputra mengatakan, esensi futuristik pendidikan merupakan dimensi keberlanjutan dan inovasi pendidikan.
Baca juga: Peduli Lingkungan, DMC Dompet Dhuafa dan Pemkot Ternate Teken Kerja Sama Pengelolaan Sampah
Terdapat tiga fungsi guna memastikan skema keberlanjutan inovasi, yaitu fungsi discovery (produksi inovasi) oleh institusi pendidikan, fungsi produksi dan komersialisasi dengan model produksi dan pemasaran, dan fungsi regulasi dengan mengatur optimasi, pemanfaatan, dan payung hukum.
“Inovasi pendidikan pun erat dengan brainstorming, prototype, industrialisasi, komersialisasi, evaluasi, dan improvement,” sebutnya.
Adapun GREAT Edunesia menjadi mitra pengelola program Dompet Dhuafa dalam bidang pendidikan yang berkhidmat kepada publik di bidang pendidikan untuk pemberdayaan.
Selama ini, pengalaman program pendidikan Dompet Dhuafa berhasil memberikan dampak secara jangka panjang terhadap perubahan status ekonomi dan kontribusi bagi mereka yang membutuhkan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan menjadi salah satu gerbang perubahan menuju kehidupan yang lebih baik.
Baca juga: Dompet Dhuafa Gelar Pesantren Kilat dan Nuzulul Quran bersama Warga Binaan Rutan Pondok Bambu
Gagasan pendidikan berkelanjutan GREAT Edunesia ke depan adalah the philanthropy edupowerment; keberlanjutan dan tata kelola dampak; kolaborasi multistakeholder; pengembangan kurikulum karakter, pengetahuan, dan keterampilan; pengutamaan kearifan lokal dan pemerataan wilayah; dan responsif terhadap isu pendidikan.
Mulyadi mengatakan, program Merdeka Belajar pihaknya beri judul Pendidikan yang Tak Kunjung Menemukan Jalannya.
“Maka, hari ini merupakan aksi kami melalui program pendidikan Dompet Dhuafa. Hardiknas kami maksimalkan untuk belanja ide bersama. Jelang usia 32 tahun Dompet Dhuafa, GREAT Edunesia ingin merencanakan program maupun kurikulum khas Dompet Dhuafa,” tuturnya.
Adapun Dompet Dhuafa mengelola 12 program, di antaranya STIM Budi Bakti, Kampus Bisnis Umar Usman, Institut Kemandirian, IDEAS, Institut Magnificent Zakat, Beastudi Indonesia, Perguruan Islam Al Syukro Universal, Sekolah SMART Cibinong, Sekolah Pengembangan Insani dan SfR (School for Refugee), Sekolah Guru Literat, serta Plan and Meal.
Untuk diketahui, persoalan akses pada pendidikan formal Indonesia saat ini baru tuntas di jenjang pendidikan dasar.
Baca juga: Lewat Care Visit, Dompet Dhuafa Ajak Donatur Kenali Budaya Penerima Zakat Produktif di Pontang
Kesempatan meraih pendidikan menengah dan tinggi masih menyisakan banyak tantangan yang kompleks.
Harapan pemerataan kualitas pendidikan juga masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan sedikit di kota-kota besar lainnya.
Ketua Kampus STIM Budi Bakti Dompet Dhuafa Rina Fatimah mengatakan, permasalahan akses pendidikan Angka Partisipasi Kasar-Perguruan Tinggi (APK-PT) tidak berkembang dalam lima tahun terakhir.
“Biaya pendidikan tinggi, kualitas lulusan pendidikan tinggi yang menganggur (akar masalah skill mismatch), solusi masa depan PT perlu dukungan kebijakan, pembiayaan, serta wadah kemitraan dan revisi kurikulum,” katanya.
Selain akses, masalah kualitas dan pemerataan harus menjadi isu besar dalam transformasi pendidikan di Indonesia.
Baca juga: Pembina Yayasan Dompet Dhuafa Paparkan 4 Perilaku yang Harus Dimiliki Pekerja Kemanusiaan
Transformasi tersebut harus memiliki orientasi yang kuat terhadap perbaikan kualitas sumber daya manusia (SDM). Jika tidak, kesenjangan akan selalu terbuka lebar.
Perkembangan teknologi dan lanskap industri, krisis akibat pandemi, perubahan iklim, serta pergeseran geopolitik dunia telah menyebabkan disrupsi besar termasuk terhadap dunia pendidikan.
Untuk menghadapi tantangan perubahan, diperlukan proses adaptasi yang cepat dan sistematis.
Pascapandemi, tingkat kemiskinan tetap menanjak. Hal ini ditambah ketimpangan ekonomi juga semakin melebar.
Di sisi lain, kemiskinan dan ketimpangan ekonomi adalah akibat langsung dari adanya kesenjangan dalam memperoleh akses pengetahuan.