KOMPAS.com – Dompet Dhuafa bekerja sama dengan Yayasan Samudra Peduli menghadirkan sumur air sebagai solusi penyediaan air bersih bagi warga Desa Cupang dan Desa Guwa Kidul di Kecamatan Gempol, Cirebon, Jawa Barat, pada Rabu (19/2/2025)
Kedua daerah itu mengalami kekeringan ekstrem saat musim kemarau tiba, terlebih resapan air di sana terbilang minim.
Hadir dalam kesempatan itu adalah Pimpinan Cabang Dompet Dhuafa Jawa Barat, Yogi Achmad Fajar; Kepala Lembaga Pengembangan dan Investasi Wakaf Dompet Dhuafa, Prima Hadi Putra; General Manager Fundraising Wakaf Dompet Dhuafa, Ali Bastoni; Dewan Pengurus Yayasan Samudra Peduli, Artika Tasya; serta Manajer Program Samudra Peduli, Rismeita Fitri Setiyanti.
Yogi menjelaskan bahwa pihaknya bersama Samudra Peduli telah melakukan asesmen menggunakan metode geolistrik untuk menemukan titik sumber air.
“Hasilnya, sumber air ditemukan di pekarangan rumah Sanusi (45), seorang warga Desa Cupang yang kemudian mewakafkan tanahnya untuk kepentingan masyarakat,” ucap Yogi dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Sabtu (1/3/2025).
Proses penggalian sumur berlangsung selama 45 hari dengan kedalaman mencapai 30 meter. Sumur ini mampu menghasilkan debit air 2 liter per detik dan ditampung dalam toren berkapasitas 5.000 liter.
Saat ini, fasilitas terebut telah memiliki 90 sambungan rumah (SR) yang mencakup 100 keluarga serta satu musala.
Baca juga: Dompet Dhuafa Hadirkan Box of Happiness untuk Semangati Anak Penderita Kanker di Yogyakarta
Sanusi sebagai pewakif tanah sekaligus penerima manfaat menyatakan rasa syukurnya atas terwujudnya sumur air ini. Kini, dalam waktu kurang dari satu jam, toren air sudah terisi penuh.
“Begitu tahu ada sumber air di belakang rumah saya, saya langsung mengikhlaskan tanah ini untuk dibangun sumur demi kebaikan bersama. Sekarang airnya melimpah, berbeda sekali dengan dulu,” ungkap Sanusi.
Melihat keberhasilan itu, Dewan Pengurus Yayasan Samudra Peduli, Artika Tasya berharap, fasilitas tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat dan menjadi sumber keberkahan bagi semua pihak yang terlibat.
“Setelah dilakukan asesmen, kami menemukan bahwa dua desa ini sangat membutuhkan air bersih. Banyak pihak yang terlibat dalam pembangunan sumur air ini, termasuk warga setempat. Semoga keberadaan sumur ini dapat membawa manfaat berkelanjutan bagi masyarakat,” ujar Artika.
Desa Cupang diketahui memiliki struktur tanah berbatu kapur yang menyebabkan minimnya resapan air. Kondisi ini diperparah oleh aktivitas pertambangan di sekitar desa yang semakin menyusutkan sumber air.
Salah satu warga setempat, Castini (40), mengaku bahwa mereka hanya memiliki satu sumber mata air yang harus digunakan secara bergantian sebelum adanya sumur air.
“Kami mengisi air bergiliran. Satu orang diberi waktu satu jam dan itu hanya cukup untuk satu ember. Kadang anak saya tidak bisa mandi karena tidak ada air,” tutur Castini.
Pada kesempatan sama, Kepala Lembaga Pengembangan dan Investasi Wakaf Dompet Dhuafa, Prima Hadi Putra menjelaskan bahwa pembangunan sumur air merupakan bagian dari ekosistem wakaf yang hasilnya digunakan untuk layanan penyediaan air bersih.
Baca juga: Sambut Ramadhan dengan Renungan, Dompet Dhuafa Hadirkan Blind Concert Bersama Panji Sakti
Wakaf sendiri merupakan pemisahan harta benda berupa aset untuk kebermanfaatan jangka panjang.
“Pertemuan antara Samudra Peduli dan Pak Sanusi melahirkan keberkahan berlipat ganda. Sumur ini akan menjadi amal jariyah dan bermanfaat luas bagi warga sekitar. Ke depan, wakaf ini juga bisa berkembang menjadi produktif serta memberdayakan masyarakat,” ujar Prima.
Di Desa Guwa Kidul, Dompet Dhuafa dan Samudra Peduli menggandeng Kelompok Kerja Masyarakat (KKM) Sumber Toya yang bertanggung jawab atas pengelolaan air resapan di daerah tersebut sejak 2019.
Sebelumnya, sumber air yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan 340 SR, tiga pondok pesantren, satu sekolah, serta enam musala. Selain itu, pompa air yang dikelola oleh KKM menghasilkan air yang keruh dan dalam jumlah terbatas.
Dompet Dhuafa dan Samudra Peduli kemudian melakukan pembangunan sumur air dengan kedalaman 50 meter yang mampu menghasilkan 4 liter air per detik.
Pengelolaan air ini bersifat produktif dengan skema harga berjenjang yang diterapkan oleh KKM Sumber Toya guna menutup biaya operasional dan pemeliharaan.
“Dengan model subsidi silang, warga membayar tarif air berdasarkan kondisi ekonomi mereka. Misalnya, untuk 10 liter pertama dikenakan biaya Rp 3.000, lalu meningkat secara bertahap. Untuk pesantren dan sekolah, tarif yang diterapkan sebesar Rp 4.000. Jika ada warga yang mengalami kesulitan ekonomi, kami memberikan keringanan dalam pembayaran,” jelas Sekretaris KKM Sumber Toya, Rifah.
Salah satu penerima manfaat, Abdul Muhaimin Mas’ud yang merupakan pengelola Pondok Pesantren Al-Fatimah Guwa Kidul mengungkapkan bahwa sebelum adanya Sumur Air ini, pihaknya harus membeli air dengan harga yang cukup tinggi.
“Sebelumnya, kami harus membeli air tangki seharga Rp 150.000 per tangki. Dalam seminggu, kami bisa menghabiskan enam tangki air. Setelah ada sumur air, kami hanya perlu membayar Rp 700.000 hingga Rp 1 juta saja. Ini jauh lebih hemat,” tutur Ustaz Abdul.
Baca juga: Lewat Program Bina Santri Lapas, Dompet Dhuafa Berdayakan Warga Binaan di Rutan Kelas I Pondok Bambu
Aldo—seorang santri di pondok pesantren tersebut—juga merasakan manfaat besar dari keberadaan sumur air. Sebelum ada fasilitas ini, ia dan teman-temannya sering kesulitan mendapatkan air untuk mandi dan berwudu sebelum salat berjamaah.
“Saya pernah tidak mandi karena tidak ada air. Bahkan, untuk wudu pun harus mencari ke musala lain,” ujar siswa kelas 5 SD itu.
Rifah berharap, program wakaf dapat terus berkembang dan memberikan surplus bagi kesejahteraan masyarakat.
“Semoga (program ini juga) membuka peluang bagi pembangunan sumur air di daerah lain yang juga mengalami kekeringan ekstrem,” imbuh dia.