KOMPAS.com - Dompet Dhuafa dan Bina Trubus Swadaya mengadakan Fokus Grup Diskusi (FGD) Budaya dan Pemberdayaan di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Rabu (29/5/2024).
Acara yang berlangsung dari pukul 09.00 hingga 16.00 WIB ini mengangkat tema "Revitalisasi Cerlang Budaya Lokal dalam Membangun Karakter Bangsa sebagai Sarana Pemberdayaan Masyarakat".
Dalam acara ini, hadir tokoh-tokoh nasional untuk membahas formulasi budaya Indonesia dalam upaya memberdayakan masyarakat.
Ketua acara FGD Rahmad Riyadi menyatakan bahwa pertemuan dan diskusi tersebut penting untuk memahami perubahan budaya dan membangun jaringan silaturahmi antara pegiat budaya dan pemberdayaan masyarakat.
Menurutnya, kebudayaan merupakan salah satu unsur penting dalam pemberdayaan masyarakat.
Baca juga: Pilkada Jakarta 2024: Menguji Eksistensi Masyarakat Jaringan
“Dompet Dhuafa dan peserta diskusi perlu mengetahui praktik pemberdayaan kebudayaan dari inisiatif lokal yang telah berhasil secara berkelanjutan baik secara etos maupun mitos,” ujar Rahmad dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Sabtu (1/6/2024).
Rahmad mengungkapkan bahwa pertemuan tersebut dilatarbelakangi oleh kegelisahan dari Dompet Dhuafa dan diskusi dengan Bina Trubus Swadaya.
Seperti diketahui, Indonesia kaya akan sumber daya alam (SDA), pulau-pulau, provinsi, ragam suku, budaya, dan bahasa. Kekayaan ini bisa menjadi keunggulan bangsa, tetapi juga bisa menimbulkan ancaman disintegrasi.
“Oleh karena itu, perlu strategi pemberdayaan masyarakat berbasis kearifan budaya lokal sangat dalam pembangunan bangsa. Masih banyak peluang untuk itu,” imbuh Rahmad.
Baca juga: Pembangunan IKN Tidak Dibiayai Dana Tapera
Pada kesempatan yang sama, inisiator dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Dompet Dhuafa Republika Parni Hadi mengungkapkan kegelisahannya terhadap kemiskinan dan kemajuan Indonesia.
Ia menyoroti bahwa bangsa Indonesia memiliki Pancasila yang luhur, tetapi dampaknya belum terasa nyata.
Parni juga mengkritisi mental korup dan kemerosotan budi pekerti yang semakin marak di masyarakat. Ia menekankan pentingnya tindakan nyata dan langkah konkret yang bisa diterapkan.
“Mari kita cari gagasan praktis. Jangan hanya bisa berbicara saja, tapi tidak melakoni. Bedah dan bongkar pada FGD hari ini, kemudian kita rumuskan dan lahirkan langkah konkret yang bisa diterima dan dipraktikkan,” imbuhnya.
Baca juga: Mensos Tri Rismaharini Klaim Entaskan 25.000 Masyarakat Miskin dengan Cara Ajarkan Berbisnis
Pendiri dan Ketua Pembina Yayasan Bina Trubus Swadaya Bambang Ismawan menyatakan komitmennya untuk terus melakukan pembinaan dan pemberdayaan masyarakat melalui Bina Trubus Swadaya.
Meski sudah berdiri selama 57 tahun, Bina Trubus Swadaya merasa masih belum berdaya sepenuhnya. Hal ini mendorong mereka untuk membuka diri dan belajar bekerja sama, terutama dengan membangun budaya bersama Dompet Dhuafa.
Bambang Ismawan menekankan pentingnya pendekatan "silih asah, asuh, dan asih" yang diterapkan oleh Bina Trubus Swadaya.
"Menurut kami, selalu coba gunakan langkah-langkah bijak tapi tidak wajib. Hal yang wajib adalah turun ke lapangan, melakukan aksi nyata, dan dari situ simpulkan teori, kemudian rumuskan teori-teori itu. Saya merasa hadir di sini mari bersama saling belajar berdasarkan pengalaman-pengalaman budaya kita bersama. Terima kasih kepada Dompet Dhuafa yang selalu memberikan hal baru yang bisa kita pelajari," ucapnya.
Baca juga: Tolak Konsep Panti Jompo, Risma: Tidak Sesuai Budaya Kita
Sementara itu, Ketua Dewan Pembina Yayasan Suluk Nusantara Bambang Wiwoho dalam sambutannya menyatakan rasa syukur atas dukungan konkrit dari Dompet Dhuafa dalam melestarikan budaya Nusantara.
Ia menyampaikan bahwa Suluk Nusantara tidak hanya melestarikan kebudayaan, tetapi juga menyediakan kegiatan bagi para lansia agar tetap sehat.
Namun, Bambang juga prihatin dengan tergerusnya rasa empati, sopan santun, dan etika bangsa.
Dalam sesi diskusi pertama yang dimoderatori oleh Wartawan Senior Media Group Wahyu Wiwoho, tema yang diangkat adalah "Refleksi Budaya Lokal dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat dan Strategi Pemerintah".
Baca juga: Menguji Implementasi Strategi Nasional Pengendalian Dengue
Diskusi tersebut menghadirkan empat narasumber, yaitu Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Restu Gunawan, Guru Besar Universitas Hasanudin (UNHAS) Nurhayati Rahman, Anggota Dewan Pembina Dompet Dhuafa Yudi Latif, dan Praktisi Seni Film Garin Nugroho Riyanto.
Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Restu Gunawan memaparkan peta indeks pembangunan kebudayaan di Indonesia.
Data tersebut menunjukkan bahwa kesadaran terhadap budaya nasional sangat rendah. Ia mencontohkan beberapa kasus seperti minuman tradisional jamu, kosmetik skincare, dan pakaian batik.
Ia mencontohkan beberapa kasus seperti minuman tradisional jamu, kosmetik skincare, dan pakaian batik.
Baca juga: Tak Cuma untuk Fisik, Jamu Juga Sehatkan Jiwa
Meskipun jamu telah menjadi warisan kebudayaan dunia yang diakui oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), masyarakat modern saat ini jarang meminumnya, baik untuk menjaga kesehatan maupun saat sakit.
“Faktanya, jamu perlahan ditinggalkan dan digantikan oleh obat-obatan modern. Begitu pula dengan skincare, masyarakat lebih percaya menggunakan produk perawatan kulit dari luar negeri dibandingkan dengan bahan tradisional,” ucap Restu.
Selanjutnya, Guru Besar UNHAS Nurhayati Rahman menjelaskan bahwa Indonesia memiliki kebudayaan yang sangat besar, menjadi satu-satunya negara di dunia dengan 1.000 suku dalam satu negara.
Ia membuktikannya dengan mentranskrip naskah kuno I La Galigo yang tertulis di lembaran daun lontar sebelum era Islam.
Baca juga: Wilayah Indonesia yang Paling Awal Memeluk Agama Islam
Meskipun naskah tersebut tercatat di beberapa negara seperti Amsterdam dan Belanda, UNESCO mengakui keberadaannya sebagai Memory of The World pada 2011.
“Sayangnya, naskah-naskah kuno tersebut dirawat di luar negeri karena Indonesia belum mampu merawatnya dengan baik, yang dapat menyebabkan kerusakan,” jelas Nurhayati Rahman.
Nurhayati Rahman menyoroti perbedaan dengan Korea Selatan (Korsel) yang secara sistematis merancang industri kreatif berbasis budaya lokal, termasuk film, kuliner, dan musik.
Korsel mengumpulkan orang-orang terbaik di bidangnya sehingga produk-produk mereka diminati terutama oleh para remaja di berbagai belahan bumi, termasuk Indonesia.
Baca juga: Entaskan Geng Motor dan Kenakalan Remaja, Walkot Pematangsiantar: Deteksi Awal Terlihat di Sekolah
"Dominasi panggung ketatanegaraan dan politik di sini adalah politisi yang populer, tokoh agama dengan massa besar, kalangan militer, dan para preman politik yang ikut nimbrung. Tokoh yang memahami humaniora justru jarang muncul," tutur Nurhayati Rahman.
Sementara itu, anggota Dewan Pembina Dompet Dhuafa Yudi Latif menyoroti budi pekerti yang merupakan perpaduan antara budaya dan perilaku.
Banyak pergerakan di Indonesia dipelopori oleh gerakan-gerakan yang terinspirasi oleh budi pekerti, seperti gerakan Sumpah Pemuda dan lainnya.
Baca juga: Siapa yang Menulis Naskah Sumpah Pemuda?
Dalam sesi diskusi kedua yang dipandu oleh Direktur Inspirasi Melintas Zaman (IMZ) dan Penulis Novel Sejarah Fatchuri Rosidin, mengangkat tema "Best Practice Pengembangan Budaya Masyarakat".
Sesi tersebut juga menghadirkan empat narasumber, termasuk Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi dari Keraton Yogyakarta, Maria Loreta dari Yayasan Agro Sorgum Flores, Andi Makmur Makka sebagai Anggota Dewan Pembina Dompet Dhuafa dan Perwakilan Bone, serta Ilham Khoiri dari Bentara Budaya Kompas.
GKR Mangkubumi membahas revitalisasi kawasan Keraton Yogyakarta, menjelaskan tiga filosofi yang menjadi sumbu tatanannya.
Pertama, Sangkan Paraning Dumadi, kredo utama Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) I, dengan fokus pada memanusiakan manusia dengan tujuan akhir yang adalah Gusti Allah.
Baca juga: Bagaimana Manusia Purba Menyebrangi Sungai dan Laut?
Kedua, Hamemayu Hayuning Bawana, yang menekankan keselarasan hidup dengan alam. Ketiga, Manunggaling Kawula Gusti, yang menyoroti persatuan antara pemimpin dan rakyat.
Budaya Jawa menekankan kewajiban, toleransi, harmoni, dan memanusiakan manusia, baik secara pikiran maupun perasaan, serta menolak pengejaran kekuasaan.
"Kami (kesultanan) berusaha untuk menata dan mempertahankan adat dan filosofi kami, mengikuti perkembangan zaman termasuk di media sosial (medsos). Sekarang kami ingin membuka kesadaran akan adat kami agar budaya tidak terlupakan. Budaya adalah identitas, sumber kepercayaan diri,” ucap GKR Mangkubumi.
“Kami memprioritaskan kewajiban tanpa harus mempertanyakan hak. Kami menekankan pentingnya harmoni dan memanusiakan manusia. Karena itu, menghargai dan sensitivitas emosional timbul. Di Jawa, ada pepatah 'sing bener durung tentu pener' yang berarti yang benar belum tentu tepat, sehingga penting untuk menjadi tidak hanya benar, tetapi juga pas," sambungnya.
Baca juga: Cerita Bayu Membuat Produk dari Sorgum hingga Diekspor ke AS
Pembicara lainnya, seorang penggerak penanaman sorgum di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) Maria Loretta membagikan pengalaman berjuang mengajak warga menanam sorgum di wilayah yang tandus dan berbatu-batu, tidak cocok untuk tanaman padi, jagung, atau palawija lainnya.
Ia mengekspresikan kekecewaannya terhadap program pemerintah yang memaksakan penanaman padi atau jagung di Flores, yang jelas tidak cocok untuk lahan kering yang dipenuhi batu.
Sebagai gantinya, Maria fokus pada pemberdayaan masyarakat dari sudut pandang ekonomi dengan memanfaatkan budaya tradisi Lamaholot.
Berkat bantuan media, ia berhasil mendapatkan benih sorgum yang diperlukan, dan usahanya akhirnya berhasil. Sorgum yang dipanen kemudian diolah menjadi berbagai camilan atau sebagai substitusi beras.
Baca juga: Dirjen Imigrasi Meresmikan ULP Sebatik, Momentum Penting Pemberdayaan Masyarakat Perbatasan
Maria juga menekankan bahwa pemberdayaan masyarakat sejalan dengan pemberdayaannya sendiri.
“Janganlah secara umum menganggap Timur sebagai daerah miskin, atau menyebarkan kabar bahwa NTT miskin, mengalami stunting, kekurangan air, padahal kami memiliki kopi Flores, potensi perikanan laut yang melimpah, sorgum, dan banyak potensi lainnya,” ucap Maria.
“Kami melakukan ini sesuai dengan aturan kami sendiri, membangkitkan romantisme, dongeng-dongeng, mengangkat peran perempuan dalam pengorbanan untuk menghasilkan benih. Ritual dan tradisi menjadi alat pemberdayaan, seperti konsumsi jagung muda, sorgum (watablolo), serta mengadaptasi tradisi untuk mengusir hama,” sambungnya.
Sebagai perwakilan Bone, Andi Makmur Makka menegaskan kembali bahwa dalam budaya Bugis, apa yang diucapkan harus diwujudkan, tanpa kesombongan akan kecerdasan atau keberanian.
Baca juga: Drama Nurul Ghufron Vs Dewas KPK dan Keberanian Para Sesepuh
Konsep hubungan antara masyarakat dan pemimpin adalah bahwa masyarakat mengikuti pemimpin karena kerelaan, dan masyarakat memiliki kebebasan untuk meninggalkan pemimpin jika diperlukan.
Sementara itu, Bentara Budaya Kompas Ilham Khoiri menyampaikan pesan tentang ‘Menjadi Indonesia di Tengah Pancaroba Budaya’ dalam presentasi yang dibawakan di acara tersebut.
Kompas Group mengambil inisiatif dalam memodernisasi kearifan lokal melalui Bentara Budaya.
Dalam analisisnya, beberapa dampak dari pancaroba budaya, termasuk hanya 13 persen dari populasi yang mengunjungi perpustakaan, rendahnya prioritas terhadap pendidikan, politik yang semakin pragmatis, meningkatnya kasus korupsi dan lemahnya penegakan hukum, serta tekanan terhadap media yang semakin kuat.
Baca juga: Pramuka Tetap Penting, Kwarnas Luncurkan Kampanye Media Sahabat Pramuka
“Oleh karena itu, sebagai solusi, upaya kami (Kompas Group atau Bentara Budaya) adalah untuk tidak lagi bergantung pada pemerintah dalam membangun budaya kita sendiri. Ini adalah usulan dan tindakan dari kami, yaitu merawat koleksi seni, mengadakan pameran yang menggabungkan tradisi dan kekinian, menggelar pertunjukan seni, mengadakan diskusi buku, dan menyelenggarakan Bentara Award untuk menghargai tokoh-tokoh seni,” tutur Ilham.
Sebagai informasi, FGD Budaya dan Pemberdayaan bertujuan untuk memfasilitasi silaturahmi nasional antara pendukung budaya dan pemberdayaan masyarakat di Nusantara.
Melalui kegiatan tersebut, FGD bertujuan untuk mengumpulkan jejak pemikiran, nilai-nilai luhur, dan sikap terpuji dari para pemerhati budaya dan pemberdayaan masyarakat, serta mengidentifikasi budaya adiluhung, merumuskan karakter budaya di Nusantara, dan memformulasikan kebaikan budaya di Nusantara untuk mendukung upaya pemberdayaan masyarakat.
Baca juga: Pendidikan Tinggi yang Bersifat Tersier
Selain itu, FGD juga bertujuan untuk melibatkan pendidikan tinggi dan masyarakat sipil dalam membangun budaya positif di masyarakat, serta untuk mencari model transformasi masyarakat melalui budaya.
Rangkaian kegiatan FGD dan diskusi pasca FGD akan didokumentasikan dalam bentuk proceeding atau buku sebagai policy brief untuk pihak-pihak terkait, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan tinggi, organisasi masyarakat sipil, dan organisasi budaya.
Dokumentasi tersebut diharapkan dapat menjadi panduan dalam membangun budaya positif di masyarakat.