KOMPAS.com – Tim Dompet Dhuafa cabang Aceh ikut terjun langsung untuk menangani gelombang pengungsi Rohingya di Aceh Utara beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, 99 pengungsi Rohingya tiba di Punteut, Kota Lhokseumawe pada Kamis (25/6/2020) setelah terombang-ambing di laut sejak Senin (22/6/2020).
Mereka kemudian dibawa ke Desa Lancok, sekitar 15 kilometer (km) dari Kota Lhokseumawe oleh para nelayan setelah mendapat desakan dari warga sekitar.
Saat ini, para pengungsi yang sebagian besar terdiri dari wanita dan anak-anak itu ditempatkan di bekas kantor imigrasi yang juga pernah dipakai pada 2016 silam.
Baca juga: Rapid Test, 99 Pengungsi Rohingya di Aceh Utara Nonreaktif
Terkait pandemi Covid-19, para pengungsi Rohingya juga menjalani rapid test. Hasilnya, semua dinyatakan non-reaktif.
Gelombang pengungsi Rohingya itu bukan kali pertama. Sejak konflik Myanmar tahun 2015 lalu, masyarakat Rohingya terpaksa mengungsi dari tempat tinggalnya.
Aceh menjadi wilayah yang cukup sering kedatangan pengungsi Rohingya. Masyarakat setempat pun berinisiatif membantu karena hukum adat terkait pertolongan dan solidaritas kepada sesama manusia.
Konflik Myanmar memang harus segera dihentikan agar masyarakat Rohingya tidak makin menderita. Upaya itu harus diperjuangkan dengan diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-36.
KTT itu diharapkan tidak hanya menjadi ajang pertemuan yang mengedepankan ekonomi, tetapi hendaknya juga memperhatikan situasi krisis kemanusiaan dan keadilan di Asia Tenggara.
Pertemuan tersebut juga diharapkan membuat negara-negara di ASEAN untuk mau menerima pengungsi Rohingya dan tidak menolak mereka yang nyawanya terancam di tengah laut.
Hal itu tertuang pada banyak instrument hukum internasional, yakni Konvensi 1951 tentang Pengungsi.
Berbagai upaya menyelesaikan konflik Myanmar pun sesuai rekomendasi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan Resolusi Dewan Keamanan PBB sebagai tindak lanjut Tim Pencari Fakta Independen PBB untuk Myanmar.
Terkait pengungsi, Indonesia telah memiliki Peraturan Presiden nomor 125/2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri, meski bukan negara pihak Konvensi 1951.
Maka dari itu, Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil pun memberi rekomendasi kepada pemerintah mengenai penanganan pengungsi Rohingya sebagai berikut:
1 Segera buat regulasi turunan
Regulasi turunan itu bersifat teknis untuk penanganan pengungsi, terutama setelah Perpres 125/2016 yang belum bisa diterapkan semua dari segi teknis, penganggaran, dan pembiayaan.
2 Segera akses Konvensi 1951
Pemerintah RI harus mengakses Konvensi 1951 agar bisa lebih komprehensif dan efisien dalam melindungi hak-hak pengungsi sesuai konvensi itu.
3 Buat aturan teknis tambahan
Aturan teknis tambahan itu meliputi mekanisme karantina, tes, dan penerapan physical distancing untuk menjamin keselamatan warga dan pengungsi akibat pandemi Covid-19.
4 Menetapkan lokasi pengungsian yang lebih layak
Lokasi pengungsian yang lebih layak harus segera ditetapkan karena bekas kantor imigrasi fasilitasnya kurang memadai.
Sementara itu, untuk lokasi pengungsian sebelumnya, kini menjadi tempat rawat inap pasien Covid-19.
5 Pertimbangkan berbagai opsi
Berbagai opsi yang ada untuk lokasi pengungsian mencakup Langsa, Aceh Selatan.
6 Solusi jangka panjang
Pemerintah harus memberi solusi jangka panjang, termasuk akses pengungsi untuk mengakses penghidupan secara mandiri.
7 Mendorong penyelesaian konflik Myanmar
Pemerintah harus mendorong penyelesaian konflik Myanmar dan tanggung jawab negara ketiga untuk memenuhi komitmen meningkatkan penempatan pengungsi ke sana.
8 Ambil pelajaran dari pengalaman
Penanganan pengungsi Rohingya di Aceh pada 2015 harus diambil pelajaran ketika masyarakat dan organisasi kemanusiaan berkolaborasi dengan pemerintah untuk mengatasi kendala.
Apa yang dilakukan pemerintah saat itu sesuai komitmen Indonesia pada Sustainable Development Goals dan Global Compact on Refugees.