KOMPAS.com – Praktisi Wakaf dan Pendiri Ekselensia Tahfizh School (eTahfizh) Dompet Dhuafa Muhammad Syafi'ie el-Bantanie menyebut bahwa penghimpunan wakaf masih menjadi salah satu tantangan pengembangan wakaf di Indonesia.
“Mengajak masyarakat untuk berwakaf sosial, seperti wakaf sumur, masjid, dan pesantren jauh lebih mudah daripada wakaf produktif seperti wakaf saham, pasar, dan pom bensin,” tutur Syafi’ie, dikutip dari keterangan persnya, Jumat (30/9/2022).
Ia menjelaskan, data di lapangan menunjukan target perolehan penghimpunan wakaf sumur miliaran rupiah bisa dicapai dengan mudah tanpa strategi penghimpunan yang rumit. Hal ini tentu satu pencapaian yang patut diapresiasi.
Namun, sebut dia, dalam konteks business process wakaf, wakaf sosial tidak berkorelasi langsung terhadap surplus wakaf.
Baca juga: KolaborAksi Nyata, Dompet Dhuafa Terima Investasi Wakaf dari CIMB Niaga Syariah
“Wakaf sumur misalnya, prosesnya selesai ketika nazir merealisasikan pembangunan sumur wakaf, masyarakat memperoleh manfaat berupa air dari sumur wakaf tersebut. Namun, sumur wakaf tidak menghasilkan surplus wakaf karena tidak bisa diproduktifkan,” paparnya.
Meski demikian, penghimpunan wakaf sosial harus tetap dijalankan karena kondisinya dibutuhkan oleh masyarakat.
“Namun, ketika kita berbicara dalam konteks wakaf dan perekonomian Islam, terlebih mewujudkan peradaban wakaf, maka nazir harus mulai beralih pada wakaf produktif,” ujar Syafi’ie.
Menurutnya, wakaf produktif menggambarkan business process wakaf secara utuh, mulai dari penghimpunan wakaf, pengembangan aset, perolehan surplus, sampai penyaluran surplus wakaf kepada mauquf ‘alaih (penerima manfaat wakaf).
Baca juga: DMC Dompet Dhuafa Kirim 300 Paket Hygiene Kit untuk Penyintas Banjir di Pakistan
Oleh karena itu, sebutnya, paradigma penghimpunan wakaf perlu dipahami oleh setiap lembaga wakaf.
“ Penghimpunan wakaf bukan sekadar besar-besaran jumlah transaksi atau jumlah penghimpunan yang besar, tetapi tidak berkorelasi terhadap surplus wakaf, belum bisa disebut keberhasilan,” ujarnya.
Sayfi’ie menerangkan, ada tiga paradigma penghimpunan wakaf yang harus dibangun.
Pertama, aktivitas penghimpunan wakaf berarti menyebarkan syariat wakaf. Masih banyak umat Islam yang belum memahami syariat dan strategis wakaf sebagai salah satu instrumen keuangan sosial syariah untuk mewujudkan kesejahteraan.
“Jika zakat adalah solusi kemiskinan, maka wakaf adalah solusi kesejahteraan. Bahkan, dalam sejarahnya, wakaf menjadi pilar penting dalam membangun peradaban,” terangnya.
Menurut dia, wakaf mampu menghadirkan layanan pendidikan dan kesehatan gratis bagi masyarakat.
Baca juga: Peduli Penyintas Banjir Pakistan, Dompet Dhuafa Bantu Pembangunan Rumah Sementara
“Wakaf juga mampu membiayai pembangunan sarana dan fasilitas umum yang dibutuhkan umat, seperti masjid dan jalan,” sambungnya.
Lembaga wakaf, dia melanjutkan, perlu secara konsisten mengedukasi masyarakat mengenai wakaf sebagai satu bagian dari aktivitas penghimpunan wakaf.
“Perlu dirumuskan cara dan metode yang tepat, sehingga wakaf mudah dipahami oleh masyarakat dari berbagai kalangan. Pelibatan influencer dari berbagai kalangan sebagai brand ambassador wakaf perlu dilakukan,” paparnya.
Kedua, aktivitas penghimpunan wakaf harus bisa menyampaikan value wakaf, bukan sekadar gimik-gimik program wakaf untuk mencapai target penghimpunan.
“Gimik tidak akan bertahan lama, karena tidak membentuk paradigma dalam persepsi masyarakat. Kampanye wakaf jadi sama seperti kampanye donasi pada umumnya. Masyarakat berdonasi dan selesai,” jelasnya.
Baca juga: IK Dompet Dhuafa dan Rebach Internasional Luncurkan Re-Space untuk Bantu Optimalkan SDM Terampil
Syafi’ie melanjutkan, hal berbeda akan terjadi jika aktivitas penghimpunan wakaf mengomunikasikan value setiap kampanye dilakukan.
“Masyarakat akan terbangun persepsinya dan memberikan pemahaman baru tentang wakaf. Adanya shifting paradigm masyarakat terhadap wakaf inilah yang bisa menjanjikan kelanggengan transaksi wakaf,” imbuhnya.
Ketiga, aktivitas penghimpunan wakaf mesti mampu membangun ekosistem wakaf. Di sini, wakaf harus dipandang dalam kerangka besar peradaban wakaf.
Pasalnya, membangun peradaban wakaf tentu saja mesti melibatkan banyak pihak. Lembaga wakaf tidak bisa berjalan sendiri.
Semua stakeholder harus dikelola dengan baik agar bisa memainkan perannya dalam semesta ekosistem wakaf.
“Wakif misalnya, jangan hanya dikelola untuk mendapatkan transaksi, setelah itu selesai. Namun, mesti dipandang sebagai aset dalam semesta ekosistem wakaf,” ujar Syafi’ie.
Baca juga: Dompet Dhuafa bersama LKIHI FH UI Gelar Diseminasi Publik soal Pemenuhan HAM di Indonesia
Menurutnya, seorang wakif bisa menjadi influencer wakaf ketika merasa puas dengan performa nazir dalam mengembangkan aset wakaf serta penyampaian laporan perkembangan yang transparan dan profesional.
Selain wakif, dia berujar, ada mitra pengelola wakaf yang perlu dikelola dengan baik.
“Dalam mengelola dan mengembangkan aset wakaf, nazir perlu bekerja sama dengan mitra pengelola wakaf. Mereka adalah entitas profesional sesuai bidang keahliannya," ucapnya.
Nantinya, target aset wakaf produktif yang dikelola mitra pengelola wakaf bisa menghasilkan surplus wakaf secara optimal.
Semakin besar surplus wakaf yang terhimpun, semakin besar pula penyaluran kepada mauquf ‘alaih.
Selain itu, sebagian surplus wakaf tersebut juga bisa dialokasikan untuk reinvestasi atau pengembangan aset wakaf agar semakin besar.
Baca juga: Lahirkan Pengusaha Muda Berjiwa Filantropi, Dompet Dhuafa Gelar Volunesia Bootcamp 2022
Oleh karenanya, masyarakat, wakif, mitra pengelola wakaf, dan mauquf ‘alaih adalah ekosistem wakaf yang perlu dibangun dan dikelola dengan baik oleh nazir.
“Semakin luas masyarakat yang teredukasi, semakin besar potensi masyarakat yang berwakaf (wakif), semakin puas wakif dengan performa nazir, semakin besar potensi untuk menggaet wakif baru,” tutur Rafi’ie.
Jika performa mitra pengelola wakaf semakin baik, surplus wakaf yang didapat pun akan semakin naik.
“Semakin besar surplus wakaf terhimpun, semakin banyak dan luas mauquf ‘alaih yang memperoleh manfaat serta semakin besar potensi pengembangan aset wakaf untuk bisa menghasilkan surplus wakaf lebih besar lagi,” terangnya.
Pada titik itulah, sebut Syafi’ie, wakaf telah bertransformasi menjadi instrumen keuangan sosial syariah yang melahirkan kesejahteraan.
Baca juga: Dukung Semangat ‘Ngaji’ Tunanetra di Fortufis, Dompet Dhuafa Hibahkan Al Quran Braille
“Secara bertahap akan mampu melahirkan peradaban wakaf. Ini bermula dari paradigma penghimpunan wakaf,” ujarnya.