KOMPAS.com - Listrik adalah nadi kehidupan modern. Dari penerangan hingga komunikasi, hampir semua aspek kehidupan kita bergantung pada energi listrik.
Tanpa listrik, kehidupan manusia akan sangat terbatas, terutama di era digital seperti sekarang. Sayangnya, akses listrik di Indonesia masih belum merata, terutama di wilayah-wilayah terpencil.
Ada dua wilayah di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang minim akan akses listrik, yakni Masjid Babul Jihad, Kampung Tubleu, Desa Bila, Kecamatan Amanuban Timur dan Masjid Al-Istiqomah, Kampung Eon Ana, Desa Ello, Kecamatan Fatukopa.
Dua tempat tersebut merupakan wilayah pelosok di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Perjalanan menuju dua lokasi tersebut membutuhkan waktu 60–120 menit.
Medan jalur tersebut jauh dari kata layak. Jika hujan lebat, masyarakat sudah pasti akan kesulitan melewati jalan tersebut.
Tak hanya listrik susah, sinyal telepon genggam juga susah. Tidak terbayangkan bagaimana situasi pada malam hari di tempat tersebut.
Baca juga: Lewat Medical Point, Dompet Dhuafa Berikan Layanan Kesehatan RS Darurat untuk Warga Palestina
Jelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), harapan hadir untuk warga TTS.
Dompet Dhuafa NTT dan Disaster Management Center (DMC) mendonasikan panel surya di dua titik desa di atas, tepatnya di Masjid Babul Jihad dan Masjid Al-Istiqomah.
Dua panel surya tersebut terpasang ke dalam masjid dan siapa pun bisa mengakses serta menikmati kebermanfaatan listrik tersebut.
Tentunya tanpa melihat latar belakang pendidikan, agama, sosial dan lainnya, semuanya bisa memanfaatkan listrik tersebut.
Instalasi panel surya terdiri dari empat kotak receiver di masing-masing titik, kemudian terhubung dengan dua baterai atau aki (tempat penyimpanan daya) dan dioperasikan melalui satu inverter.
Salah seorang warga Kampung Tubleu, Aimah Natonis, menceritakan pengalamannya hidup di desanya dengan akses listrik yang minim.
Tinggal di Desa Bila, Aimah merantau ke beberapa wilayah, seperti Bandung dan Soe pada usia remaja hingga dewasa untuk menempuh pendidikan serta menambah pengalaman bekerja.
Setelah menikah, dia beserta suami dan kedua anaknya menetap di Kampung Tubleu, Desa Bila yang merupakan tanah kelahirannya.
Terhitung sudah empat tahun dia dan suami hidup bersama di sana. Dua sampai tiga tahun dia memanfaatkan lampu pelita buatan sendiri dari kaleng bekas.
Saat malam tiba, aktivitas Aimah hanya terpusat di dalam rumah. Dengan luas kurang lebih luas 3 x 3 meter (m), rumah bergaya adat setempat masih berdiri kokoh melindungi Aimah dan keluarga dari gempuran panas dan hujan.
Kini, Aimah tidak lagi khawatir ketika malam tiba dan ingin melanjutkan membuat keranjang anyaman.
Baca juga: Lebih Dekat dengan Dompet Dhuafa Ajak Influencer Tebarkan Manfaat untuk Sesama
”Terima kasih kepada para donatur DMC Dompet Dhuafa atas bantuan listriknya. Ini sangat bermanfaat bagi kami. Semoga Allah membalas kebaikan-kebaikan dari para donatur Dompet Dhuafa,” ujarnya.
Tak jauh dengan Kampung Tubleu, Desa Bila, kondisi Kampung Eon Ana, Desa Ello juga memiliki keterbatasan listrik dan penerangan.
Ustaz Syamsuddin, seorang warga Desa Ello mengamini minimnya akses listrik di wilayahnya.
”Kasarnya, sejak merdeka. Wilayah ini sulit menikmati penerangan listrik karena wilayah ini termasuk dalam wilayah terluar, tertinggal, dan terdalam (3T),” katanya.
Dia mengatakan, saat malam hari tidak bisa terang, dia terkadang harus menyeberangi sungai untuk mengisi ulang penerangan dan lainnya.
Syamsuddin mengatakan, bahkan untuk mengumandangkan adzan sangat sulit. Lantaran letak geografis kampung yang luas dan listrik belum memadai sehingga adzan hanya terdengar dalam jangkauan radius kecil.
Kini, Syamsuddin tidak lagi khawatir akan jangkauan radius suara adzan yang kecil maupun melaksanakan aktivitas lainnya.
Baca juga: Dompet Dhuafa dan Payakumbuah Salurkan 1.000 Paket Sembako untuk Anak Yatim dan Duafa
”Terima kasih untuk DMC Dompet Dhuafa. Alhamdulillah sudah sangat membantu kami,” ucapnya.